Catatan Dari Dialog Publik IKA Unhas Jabodetabek : “Sosok Manusia Bugis Makassar”

IMG-20150210-WA0009 (1)

Mencermati kondisi kenegaraan dan politik dewasa ini, Ikatan Keluarga Alumni Universitas Hasanuddin Cabang Jabodetabek kembali menyelenggarakan sebuah acara Dialog Publik bertema “Sosok Manusia Bugis-Makassar” pada Hari Selasa (10/2) bertempat di Press Room DPR RI Senayan. Bertindak sebagai narasumber :   Eka Sastra, SE, M.Si  (Anggota Fraksi Golkar DPR RI Komisi VI/Alumni Unhas), Prof. Dr. Anhar Gonggong (Sejarawan) dan Nirwan A Arsuka (Budayawan), dipandu oleh Moderator Freddy (Staf Tenaga Ahli DPR RI). Beberapa orang alumni Unhas turut serta belasan wartawan DPR dari berbagai media cetak dan elektronik ikut hadir dalam diskusi ini.

Dibuka dengan sambutan Ketua Umum IKA Unhas Jabodetabek Ir. A. Abdul Razak Wawo yang menyatakan bahwa dialog publik ini bermaksud untuk membahas lebih lanjut karakter orang Bugis Makassar yang berani, jujur, berjiwa pemimpin serta merespon kondisi aktual politik Indonesia sekarang.

Eka Sastra memulai paparannya dengan membahas budaya menurut Marxian dan Weberian. Dimana oleh kaum Marxian budaya dianggap merupakan sebagai struktur dasar (basic structure) yang mempengaruhi suatu masyarakat yang terdiri dari hasil gabungan aspek ekonomi, sosial, hukum . Sementara kaum Weberian menganggap justru budaya merupakan inti daristruktur atas (supra structure) yang meliputi ideologi suatu masyarakat.

Selain teori ala Marxian dan Weberian itu, ada teori ketiga yang menyebut bahwa budaya merupakan tegangan yang senantiasa tarik menarik antara infra struktur dan supra struktur tadi. Eka menyebut bahwa dari kecil, ia sering diceritakan oleh orang tuanya tentang kehebatan orang-orang Bugis-Makassar sejak zaman dahulu. Tentang orang Bugis yang merantau dan melaut hingga mencapai negeri-negeri yang jauh hingga Madagaskar, tentang mereka-mereka yang berhijrah dan membangun kehidupan hingga berhasil di tanah rantau bahkan sampai menjadi penguasa seperti di Riau dan Johor Malaysia.

IMG-20150210-WA0012 (1)

Eka menyebut dibekali orang tuanya dengan ajaran “3 S” yaitu Sipakainga (saling mengingatkan), Sipakalebbi (Saling memuliakan) Sipatokkong (Saling mendukung). Dan satu lagi, orang Bugis Makassar itu memiliki daya juang yang tinggi, sehingga bagi mereka tidak istilah transmigrasi, dimana segala sesuatunya disiapkan mulai tempat, insentif hingga fasilitas. Orang Bugis merantau atas kemauan sendiri dan membangun komunitas di tempat yang baru.

Sementara itu  Anhar Gonggong memulai paparannya dengan menyebutkan bahwa walaupun ia sejak lama yaitu tahun 1963 meninggalkan kampung halaman Sulawesi Selatan menuju Yogyakarta untuk berkuliah, ia mengaku tidak kehilangan kebugisannya. Lantas menyebut bahwa Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang belum jadi, masih berproses menjadi. Yang ada adalah proses dialog antara suku-suku yang ada.

Ia menyebut bahwa raja-raja Bugis Makassar adalah pejuang, sehingga mereka setuju dengan kemerdekaan Indonesia dari Belanda. Sejak merdeka, Indonesia telah mengalami 4 sistem bernegara: mulai dari sistem liberal, terpimpin, Pancasila hingga sistem “tidak-tidak” (sistem ini tidak, sistem itu tidak 🙂 ).

69 tahun Indonesia merdeka, tidak satu pemerintah RI pun yang mengatur pemerintahan yang betul-betul sesuai dengan Pancasila secara konsisten. Anhar menyebut Soekarno-Hatta (dan para founding father lain) cerdas dengan mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara.

Nusantara sangat dipengaruhi orang Bugis-Makassar. Hampir semua kerajaan di Kalimantan, Riau, Aceh hingga Malaysia, rajanya atau perdana menterinya berdarah Bugis. Seandainya Sultan Aceh masih ada sekarang, maka ia pasti berdarah Bugis. Karena orang Bugis-Makassar dalam merantau hampir selalu membuat perjanjian dengan bangsawan lokal.

Kemudian, Anhar membahas tentang Kahar Muzakkar, AM. Jusuf, Jusuf Kalla dan menyebut Abraham Samad. Kahar, menurutnya adalah seorang pejuang yang kemudian memberontak. Berontak karena kebugisannya dan merasa tidak dihargai. Walaupun ia punya banyak anggota pasukan, tetapi ia hanyalah seorang pandu yang tidak memiliki riwayat sekolah militer. Hal itulah yang menyebabkan Nasution lebih memilih Sumual dan Kawilarang menjadi pimpinan militer untuk daerah Sulawesi.

IMG-20150210-WA0014 (1)

Adalah A. Selle, A. Sose dan A. Jusuf, ketiganya adalah mantan anak buah Kahar. Ketiganya menghormati Kahar akan tetapi ketiganya tiba pada dua pilihan: apakah mereka sepakat untuk menyelesaikan masalah dengan Kahar secara perang, ataukah mereka berdamai dengan cara diplomasi dan perundingan. Siri na Pesse inilah yang terjadi antara mereka. Walaupun berbeda pandangan, mereka saling menghargai. Ada saat dimana A. Jusuf memilih jalur diplomasi/perundingan, tapi belakangan memutuskan untuk menyatakan perang, tapi kemudian A. Selle mengingatkan, “Jangan, kita dapat pangkat seperti ini karena juga jasa Kahar. Dia orang tua kita”. Prof. Anhar menyebut juga bagaimana Jusuf (waktu itu berpangkat Letkol) dalam sebuah pidato di Karebosi menanggalkan gelar Andi pada namanya.

Jusuf Kalla dalam bagian akhir buku karya Christian Pelras disebutkan sebagai tokoh yang menjadi pemimpin karena paling tidak 3 hal: Pertama, walaupun bukan dari kalangan bangsawan, tetapi dia dari keluarga pedagang. Dan dalam strata masyarakat Bugis-Makassar, kaum pedagang mendapat tempat tersendiri. Kedua, karena orang tuanya dekat dengan ulama, ayahnya adalah ketua NU Sulawesi Selatan. Ulama dan pedagang, mendapat tempat di struktur masyarakat. Ketiga, Ia didukung secara politik. Tiga hal inilah yang memungkinkan seorang JK menjadi pemimpin hingga wakil presiden RI.

Anhar juga menyebutkan bagaimana JK berusaha untuk memenuhi semua undangan perkawinan dan acara kematian. Juga menyebut bagaimana A. Pangerang naik becak atau berjalan kaki untuk memenuhi undangan. Ini menunjukkan bagaimana karakter seorang bangsawan Bugis Makassar (yang sederhana) yang berusaha memenuhi undangan dari semua kalangan. “Mereka sangat menghormati saya dengan mengundang saya dalam acara mereka. Saya harus membalas penghormatan itu dengan menghadirinya”, kata A. Pangerang ujar Anhar.

Nirwan Arsuka menyitir budayawan Sulsel-Rahman Arge “Karena saya Bugis, maka saya Indonesia”. Hal ini menarik menurutnya karena ketika kita selesai membugis, maka kita juga selesai mengindonesia. Indonesia adalah merupakan dialog antara berbagai suku di nusantara. Ia setuju dengan ungkapan Prof Anhar bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang belum selesai menjalani proses menjadi. Dialog panjang ini untuk meng-Indonesia, menjadi Indonesia. Dan dialog ini untuk meningkatkan martabat suku-suku yang lain. Menyangkut soal Abraham Samad, ia menyatakan bahwa ini merupakan problema hukum, makanya harus diselesaikan secara hukum pula, pungkas Budayawan berdarah Barru ini.

Acara kemudian berlanjut dengan tanya jawab yang berlangsung secara interaktif.

“Pemimpin orang Bugis Makassar sejak dulu adalah “Pemimpin Terdidik Tercerahkan”. Mereka inilah yang menggerakkan rakyat dan masyarakat. Ia menyebut bahwa rakyat kita ini “dijajah dua kali: pertama oleh sistem “feodal” sejak dulu. Kedua dijajah oleh Belanda ratusan tahun. Yang membebaskan adalah “sifat terdidik-tercerahkan” ini. Jika dulu sebagian besar bangsawan Bugis Makassar adalah pemimpin terdidik-tercerahkan, maka di masa kini kita akan selalu membutuhkan pemimpin yang terdidik-tercerahkan”, tutur Anhar Gonggong menjawab pertanyaan salah seorang peserta tentang karakter kepemimpinan Bugis Makassar. Sedangkan Nirwan Arsuka menanggapi pertanyaan tentang kondisi politik saat ini dihubungkan dengan semangat kebangsaan, beliau menjawab, Masalah kebangsaan kita belakangan ini adalah problem kepemimpinan, pemimpin mulai dari presiden (Jokowi) hingga ke bawah. Tentang masalah AS dan kawan-kawannya, ini bukan problem orang Bugis saja, jangan sampai kita mau menyelesaikannya melalui perspektif Bugis-Makassar, ini malah akan menambah masalah. Rangkaian acara berakhir pukul 12.30 siang

Catatan:

Artikel ini disarikan dari notulensi Anshar Saud

 

 

 

 

Unhasian.com adalah platform media komunitas. Setiap penulis bertanggungjawab atas tulisannya masing-masing.

Jangan Lewatkan: