Blok Mahakam dan Spirit Nasionalisme Migas Indonesia

Oleh : Amril Taufik Gobel

Secara resmi, Pemerintah akhirnya menyerahkan sepenuhnya pengelolaan Blok Mahakam kepada PT Pertamina (Persero) melalui surat penunjukan pengelolaan Blok Mahakam dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Sebagaimana dikutip dari tautan ini Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto mengatakan pihaknya menerima surat penunjukan tersebut pada Selasa (14/4). Dalam surat tersebut dinyatakan Pertamina akan menjadi operator setelah kontrak dengan Total E&P Indonesie selesai 2017.  Meski sudah mendapat kepastian pengelolaan, Dwi mengaku belum mengetahui berapa besar saham yang akan didapat Pertamina di Blok Mahakam.

Menurut beliau, dalam surat penunjukan tersebut tidak dijelaskan mengenai persentase saham yang diberikan kepada Pertamina. Surat ini hanya menyebutkan Pertamina boleh menggandeng mitra untuk pengelolaan blok migas tersebut. Mitra ini bisa siapa saja, termasuk operator lama yakni Total dan Inpex Corporation. Pertamina juga belum memutuskan siapa mitra yang akan diajak dalam pengelolaan blok tersebut. Menurut Dwi, keputusan pemerintah ini semata-mata untuk menjaga keberlanjutan produksi Blok Mahakam setelah kontrak berakhir pada 2017.

mahakam

Blok Mahakam merupakan penghasil gas kedua terbesar di Indonesia dengan rata-rata produksi 2.200 juta kaki kubik per hari (MMSFCD). Angka ini setara dengan 300.000 barrel minyak per hari. Seperti dikutip dari majalah Geo Energi  edisi 36, Tahun III, Oktober 2013 halaman 14, Blok Mahakam saat ini tersimpan cadangan gas sekitar 27 Triliun Cubic Feet (TCF). Sejak 1970 hingga 2011 sekitar 50% (13,5 TCF) cadangan telah dieksploitasi dengan pendapatan kotor sekitar US$ 100 Milyar. Cadangan yang tersisa saat ini sekitar 12,5 TCF, dengan harga gas yang terus naik, Blok Mahakam berpotensi meraup pendapatan kotor US$ 187 Miliar atau sekitar Rp 1700 Triliun. Hanya cadangan migas di blok Natuna yang mampu mengalahkan cadangan migas Blok Mahakam.

Pada 31 Maret 1967 KKS (Kontrak Kerjasama) Blok Mahakam ditandatangani oleh Pemerintah dengan Total E & P Indonesie dan Inpex Corporation, beberapa minggu setelah Soeharto dilantik sebagai Presiden RI kedua. Kontrak berlaku 30 tahun hingga 31 Maret 1997. Beberapa bulan sebelum lengser, Presiden Soeharto memperpanjang kontraknya lagi selama 20 tahun dan berakhir pada 31 Maret 2007.

Mengingat potensi blok Mahakam yang menggiurkan, banyak pihak yang mendesak agar menjadi pengelola blok Migas ini, termasuk Total dan Inpex. Disamping permintaan manajemen Total, Perdana Menteri Perancis Francois Fillon pun telah meminta perpanjangan kontrak blok Mahakam saat kunjunganke Jakarta pada Juli 2011 lalu. Pada September 2014, CEO Total Asia Pasifik, Jean Marie Guillermou datang menemui Menko Perekonomian Chairul Tanjung untuk berdiskusi mengenai tanggapan pemerintah tentang peran Total di blok Mahakam menjelang kontrak habis 2 tahun lagi.

Sementara itu pada pertemuan dengan Presiden Joko Widodo pada bulan Maret 2015 silam di kantornya di Kantei Tokyo, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe sangat berharap pemerintah Indonesia memperpanjang kontrak kerjasama Inpex di Blok Mahakam. Sebagaimana dikutip dari Majalah Tempo edisi 6-12 April 2015,  Jepang sangat bergantung pada pasokan gas Mahakam. Tahun lalu, sedikitnya empat kargo (sekitar 500 metrik ton) gas alam cair atau LNG dari ladang gas lepas pantai Kalimantan Timur dikapalkan ke negeri Sakura.

Spirit Nasionalisasi Migas

Dalam buku “Nasionalisasi Migas” karya Gde Pradnyana disebutkan pemerintah pada awal era reformasi mengembangkan pengertian kemandirian energi dengan mengaitkannya kepada konsep 3 A, yaitu :Availability (mengurangi ketergantungan kepada impor dengan menaikkan produksi migas dalam negeri), Accessibility (membangun dan memperbaiki infrastruktur migas sehingga sumber-sumber produksi mudah dijangkau oleh konsumen) dan  Affordability (peningkatan daya beli dengan mengarahkan subsidi kepada masyarakat lapisan bawah).

mahakam2

Konsepsi ini dalam konteks pengelolaan blok Mahakam memiliki peran penting, terutama agar kegiatan eksplorasi dan khususnya ekploitasi migas dapat dilakukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, sesuai amanat UUD 1945. Konsep adil dan makmur harus menjadi dasar pemanfaatan kekayaan alam dimana keadilan tercipta bagi semua pihak, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan dan masyarakat setempat. Masing-masing mendapatkan haknya sesuai dengan peranannnya dalam bingkai NKRI.

Pasca penetapan pengelolaan Blok Mahakam oleh pemerintah kepada Pertamina, spirit nasionalisasi Migas Indonesia untuk kemandirian energi sangat terasa gaungnya. Persoalannya, Siapkah Pertamina?

Dengan pengalaman yang dimiliki termasuk penguasaan lebih dari separuh ladang migas Indonesia, saya meyakini Pertamina dapat mengelola Blok  Mahakam secara profesional dan menguntungkan. Salah satu bukti konkrit adalah sejak Pertamina mengakusisi blok Offshore North West Jawa (ONWJ) pada 2009, produksi di blok  tersebut terus  terdongkrak. Seperti dikutip dari tautan ini Di bawah pengelolaan Pertamina Hulu Energi (PHE) produksi Blok ONWJ naik dari tahun ke tahun. Seperti pada 2013, Blok ONWJ mampu memproduksi minyak sejumlah 38.300 BOPD. Raihan tersebut melampaui target yang dipatok, yakni 38.000 BOPD. Selain itu, produksi gas pun terus meningkat. Tahun lalu mencapai angka 181 MMSCFD, di atas target awal sebesar 175 MMSCFD. Untuk menjaga kesinambungan produksi yang terus meningkat, tidak ada pilihan lain kecuali tanpa henti melakukan kegiatan pengembangan, seperti Lapangan ‘UL’. “Lewat keberhasilan pengembangan lapangan ‘UL’, sejak Februari 2014 yang lalu telah berkontribusi dalam menambah produksi minyak ONWJ sebesar 2.200 BOPD, serta gas sebanyak 9,5 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD),” papar Direktur Utama PHE, Ignatius Tenny Wibowo beberapa waktu yang lalu.

Lebih lanjut, menurut Tenny kibaran bendera Pertamina lewat PHE di wilayah kerja offshore dari waktu ke waktu semakin tinggi. Fakta itu terekspose melalui keberhasilan dalam mengelola Blok West Madura Offshore (WMO). Sentuhan tangan dingin para jawara PHE, mengangkat blok yang berada di Lepas Pantai Jawa Timur Bagian Utara, itu semakin berjaya. Produksinya, yang  sempat anjlok hingga 13 ribuan barel per hari pada kwartal-I/2011 ketika masih ditangan operator lama, Kodeco, sejak dikelola Pertamina 7 Mei 2011 angka produksi blok tersebut terus meningkat. “Pada akhir 2013 produksi harian blok WMO mencapai 24.993 BOPD dan produksi gas 125 MMSCFD. Angka tersebut merupakan pencapaian produksi minyak tertinggi dalam sejarah WMO,” imbuh Tenny. Kemudian, ia menambahkan bahwa kesuksesan PHE dalam mengelola blok migas di lepas pantai, seperti Blok ONWJ dan WMO membuktikan kompetensi, reputasi, dan profesionalisme sumber daya manusia (SDM) Pertamina tak kalah dibanding perusahaan asing.

Keraguan memang kerapkali datang mempertanyakan kemampuan Pertamina mengaktualisasikan perannya dalam mengelola Blok Mahakam.  Setelah kontrak Total dan Inpex berakhir sudah selayaknya pemerintah memberikan pengelolaan blok Mahakam kepada Pertamina. Sesuai UU Migas No.22/2011, jika kontrak migas berakhir, pengelolaan seharusnya diserahkan kepada BUMN, dalam hal ini Pertamina.

Prinsip 3A secara spesifik dalam konteks ini –sejalan dengan spirit nasionalisme migas– akan merujuk pada “availability”  yang mengandung makna keberadaan sumber daya manusia profesional, berkompoten dan kekuatan finansial yang memadai guna menjamin pasokan berkelanjutan dalam pengelolaan blok Mahakam, “accessibility” mengacu pada kemudahan akses regulasi, perizinan dan dukungan insentif fiskal mulai di sektor hulu hingga hilir serta “affordability” yang dimaknai sabagai integrasi dan kolaborasi konstruktif antar segenap pihak terkait, termasuk pemerintah daerah setempat untuk memberikan manfaat dan kesempatan sebesar-besarnya dalam beraktualisasi secara nyata pada pengelolaan migas di Blok Mahakam ini.

Jika memang pada akhirnya Pertamina menggandeng mitra dalam operasional pengelolaan Blok Mahakam, diharapkan agar kemitraan yang terjalin dapat menghasilkan keuntungan dan manfaat bagi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Tentunya dibutuhkan analisa dan kajian komprehensif untuk merumuskan konsep kemitraan tersebut, serta tidak tertutup kemungkinan untuk menjalin kerjasama strategis dengan operator pengelola blok Mahakam sebelumnya termasuk dengan pemerintah daerah setempat dengan skema “participating interest”.

Participating Interest

Pasca gerakan Reformasi 1998, Desentralisasi di Indonesia bergulir cepat.  Kewenangan daerah untuk  memperoleh bagian yang seimbang dari hasil eksplorasi dan eksploitasi sumber daya energi terus mengemuka. Pada saat yang sama, kondisi sumber kekayaan energi dan sumber daya mineral tidak dimiliki setiap daerah sehingga cenderung melahirkan kesenjangan sosial dan ekonomi antar daerah yang kaya potensi dengan daerah yang tidak memilikinya. Polemik soal ini terus bergulir dan kerapkali menjadi topik pembahasan serius serta berulang dalam beragam even seminar mengenai migas.

Topik hangat soal Keputusan pemerintah yang akan membatasi ruang gerak pemerintah daerah dalam hak partisipasi pengelolaan migas sebesar 10% menjadi perhatian besar. Termasuk tentu saja pada pembahasan mengenai partisipasi BUMD dalam pengelolaan blok Mahakam. Bagi Pemerintah pusat, Badan Usama Milik  Daerah (BUMD) dinilai banyak yang mengalami kesulitan keuangan sehingga terpaksa menggandeng pihak swasta. Padahal BUMD Migas ini sangat diharapkan sebagai salah satu penyumbang pendapatan daerah. Ketimpangan kepemilikan saham dalam konsorsium yang dibangun BUMD dengan perusahaan swasta dirasakan timpang yang ujung-ujungnya berimplikasi pada minimnya sumbangan BUMD Migas terhadap kas daerah.

Marwan Batubara, Direktur Eksekutif IRESS, seperti dikutip di Majalah GeoEnergi, edisi 36 Oktober 2013 menyatakan “Karena ketiadaan Dana , banyak oknum pemegang kekuasaan, baik eksekutif maupun legislatif daerah yang terpengaruh, (akhirnya) bekerjasama dengan pihak swasta, atau memanfaatkan untuk kepentingan pribadi”. Beliau kemudian menyebut salah satu contohnya, yaitu ada sejumlah daerah  di Jawa yang mengatasnamakan Participating Interest (PI) nya dengan swasta dengan pola bagi hasil yang merugikan pemerintah daerah, di blok Cepu. Kasus serupa juga terjadi pada Pemerintah Provinsi Jawa Timur di Kangean.

Padahal, pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman langsung atau bekerjasama dengan BUMN atau Pertamina untuk meminjam pada lembaga keuangan meski tentu saja proses pengajuan dan birokrasinya mungkin relatif lama . Dalam konteks Blok Mahakam, saya melihat bahwa skema PI untuk pemerintah daerah bisa diakomodir dengan menggandeng mitra swasta, sepanjang BUMD bersangkutan menjadi pemilik saham mayoritas dan memegang kendali penuh dalam pengelolaan wilayah migasnya sesuai kewenangan yang dimiliki. Keseriusan dan kesiapan Pemerintah Daerah Kalmantan Timur yang juga ingin ikut terlibat dalam pengelolaan migas di blok Mahakam layak diapresiasi .  Dan tentunya ini akan menjadi bagian integral dari spirit luhur menegakkan nasionalisme dan kemandirian Energi di negara kita.

Unhasian.com adalah platform media komunitas. Setiap penulis bertanggungjawab atas tulisannya masing-masing.

Jangan Lewatkan: