Pendekatan Holistik Untuk Adaptasi & Mitigasi Perubahan Iklim

314763_10150318544188486_686488485_7888723_1209330331_n (2)

Pelepasan burung merpati oleh perwakilan komunitas Blogger seluruh Indonesia dalam acara Amprokan Blogger 2011 di Botanical Garden Kota Jababeka Cikarang, seusai mengunjungi pohon yang ditanam setahun sebelumnya pada event yang sama di lokasi tersebut 

Pertemuan beberapa orang Blogger di kantor UNDP Jakarta akhir September 2012 lalu untuk berdiskusi seputar Bagaimana Media Sosial di Indonesia dapat berkontribusi untuk menyingkap ‘mitos’ tentang Perubahan Iklim (Climate Change), masih menyisakan rasa “penasaran” di hati saya. Bertempat di UNDP Indonesia office, Jakarta Papua Ruang Rapat Gedung Menara Thamrin, lantai 7 Jl. MH Thamrin kav. 03, Jakarta Selatan kegiatan ini merupakan rangkaian dari kegiatan “Social Good Summit”– sebuah gerakan global untuk membicarakan tantangan terbesar yang dunia hadapi saat ini. Pertanyaan-pertanyaan yang mendera batin tentang upaya strategis yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kecerdasan ekologis dalam merawat bumi dengan langkah-langkah adaptasi dan mitigasi perlu dijawab dengan aksi nyata, tak sebatas wacana.

Saya tiba-tiba teringat, dalam dua kali momen Amprokan Blogger (temu nasional blogger) yang digelar oleh Komunitas Blogger Bekasi tahun 2010 dan 2011 silam, isu lingkungan diangkat sebagai tema besar dalam upaya sosialisasi kesadaran pelestarian lingkungan di Indonesia. Masih terngiang di telinga saya suara lantang ibu Emmy Hafied  seorang “pendekar” wanita di bidang pelestarian lingkungan hidup saat membawakan presentasi pamungkas dalam acara hari pertama Amprokan Blogger 2011 di aula asrama haji Bekasi.

“Mari kita berkaca pada diri masing-masing, apakah kita semua sudah memiliki kecerdasan ekologis?”, tukasnya lugas. Wanita kelahiran Sumatra Barat tahun 1958 dan pernah dinobatkan sebagai “Pahlawan Bumi” oleh Majalah TIME tahun 1999 ini kemudian mengungkapkan berbagai fakta betapa kepentingan ekologis seringkali kalah oleh kepentingan ekonomi.

“Lihatlah, hutan kita hilang seluas lapangan bola hanya dalam hitungan 2 detik. Hanya 2 detik !!!”, tegas Emmy lantang. Kemudian hening. Para peserta Amprokan Blogger yang hadir bagaikan tersihir oleh kalimat dan retorika Emmy  Kalimantan saat ini sudah ditetapkan pemerintah sebagai kawasan wilayah pertambangan dan galian mineral. Dampaknya, kita akan kehilangan begitu besar kekayaan alam hayati berupa hutan hujan tropis disana. “Yang tinggal hanyalah berupa danau-danau bekas galian serta bukit gundul sebagai warisan untuk anak cucu kita kelak,” tutur Emmy yang pernah bekerja di Green Peace Indonesia itu dengan sorot mata tajam. Laju Deforestrasi terus berlanjut.dan lambat laun, “harta” berharga kita itu akan kian habis.

Penanaman pohon di area Botanical Garden Kota Jababeka dalam acara Amprokan Blogger yang diselenggarakan pada bulan Maret 2010 (foto oleh : Wijayakusumah)

Apa yang diungkap ibu Emmy, memang begitu pahit namun niscaya adanya. Hutan memiliki fungsi ekologis sebagai penyedia air, penahan longsor, penyerap air, carbon capture, memiliki posisi strategis dalam konteks pelestarian lingkungan. Apalagi, tak hanya itu, fungsi sosial budaya juga dimilikinya dimana 1,5 milyar penduduk dunia sangat bergantung pada hutan (sumber: Majalah Indo Petro Tahun VI Edisi 20 Januari 2013-20 Februari 2013). Laju deferostasi naik signifikan, karena di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, melihat hutan sebagai komoditi bisnis yang menjanjikan. Tercatat, seperti dikutip dari sumber tadi, tahun 2003-2006 terjadi deferostasi sebesar 1,17 juta hektar per tahun atau deferostasi meliputi 64,8% kawasan hutan dan 35% berada diluar kawasan (APL).

Efek dari kerusakan hutan ini cukup memprihatinkan. Akibat deferostasi khususnya di lahan gambut yang semakin meluas maka terjadi emisi CO2 dan CH4 atau yang sering disebut sebagai gas rumah kaca. Sekitar 17% dari emisi gas rumah kaca global berasal dari pembukaan  dan pembakaran hutan yang tidak terkontrrol. Dampaknya tentu terjadinya Perubahan Iklim yang kemudian bermuara pada tingkat penyebaran penyakit yang kian tinggi yang kemudian berakibat pada menurunnya derajat kesehatan masyarakat.

presentasimangrove

Dikesempatan yang sama di acara Amprokan Blogger 2011 saya terkesan pada uraian Mas Amrul dari ElKail sebuah Yayasan Konservasi Lingkungan Hidup yang berkantor pusat di Cikarang. Mas Amrul menyajikan materi tentang gerakan yayasan mereka melakukan pemeliharaan dan penyelamatan hutan Mangrove di Bekasi Utara yang saat ini jumlahnya kian menyusut. Terlihat hingga tahun 2007, 42% hutan Mangrove mengalami kerusakan parah.

Hutan mangrove sangat berjasa untuk kehidupan pantai, akarnya dapat menyerap logam berat, mampu menahan abrasi dan intrusi air laut ke daratan, melambatkan arus pasang surut, menahan sedimentasi dari daratan dan tegakannya berfungsi sebagai penahan gelombang. Fungsi biologisnya antara lain sebagai sumber hara untuk kehidupan hayati laut, juga menjadi sumber pakan burung, mamalia dan reptil.

Mangrove menghasilkan oksigen lebih besar dibanding dengan tumbuhan darat, pemelihara iklim mikro dan pencegah keasaman tanah. Untuk anakan beberapa jenis ikan dan udang, hutan mangrove adalah tempat mengasuh, mencari makan dan pemijahan. Dari kulit kayu mangrove dapat dihasilkan tanin sebagai bahan pembuat tinta, plastik dan perekat. Hutan mangrove yang lebat akan menarik burung-burung untuk bersarang atau beristirahat, sehingga dapat menjadi areal wisata birdwatching.

Saya pernah menulis soal tersebut di artikel ini (judul: Tahun Hutan Internasional & Nasib Hutan Mangrove Kita) dengan menyebutkan sejumlah fakta :

Hutan Mangrove atau Hutan Bakau kita saat ini yang semakin hari kian menyusut kapasitasnya.  Sebagai gambaran (dikutip dari tulisan Harry Jusron Harian Investor Daily, 22 April 2009), Pada tahun 1997 saja luas hutan Mangrove  di Pulau Jawa sudah tinggal 19.077 Ha saja. Penyusutan terbesar terjadi di Jawa Timur, dari luasan 57.500 Ha menjadi hanya 500 Ha (8%), kemudian di Jawa Barat dari 66.500 Ha tinggal 5000 Ha. Sedangkan di Jawa Tengah, tinggal 13.577 Ha dari 46.500 ha (tinggal 29%).

Lantas bagaimana nasib Hutan Mangrove di Bekasi dan Jakarta?. Nasibnya tak kalah memprihatinkan. Dari berita di Tempointeraktif 4 April 2008, Hutan mangrove atau bakau di wilayah pesisir utara Kabupaten Bekasi, nyaris habis. Sebagian besar hutan yang terdapat di tiga kecamatan yaitu Tarumajaya, Babelan, dan Muara Gembong, itu telah beralih fungsi menjadi tambak. Kepala Dinas Pengendalian Dampak Lingkungan dan Pertambangan (DPDLP) Kabupaten Bekasi Bambang Sulaksana mengatakan mayoritas hutan mangrove rusak berat. “Terjadi penebangan besar-besaran,” kata Bambang dalam siaran pers yang diberikan kepada Tempo. Dinas Pengendalian mencatat, komposisi antara hutan mangrove dengan luas empang kini terbalik. Area hutan mangrove 45 tahun (1943) silam seluas 15.444.44 hektare, kini hanya 2.080 hektar. Sebaliknya luas tambak di tiga kecamatan pesisir pantai utara itu semakin luas. Area tambak 44 tahun lalu hanya 326,89 hektar kini meluas 10.729.06 hektar.

Pada tahun 1939, DKI Jakarta memiliki Hutan Mangrove seluas 1.210 Ha (Backer, 1952). Saat ini Hutan Mangrove hanya tinggal seluas 99,82 Ha sebagai taman wisata alam di Angke, Kapuk. Awalnya areal ini 90% dalam keadaan rusak berat, tetapi pada akhir 2008 telah direhabilitasi dan ditanami kembali berbagai jenis Mangrove seluas 62 Ha. Hasil ini tidak dengan mudah dicapai, karena harus berhadapan dengan petambak liar yang memotong batang yang telah dewasa dan meracuninya, sebagaimana dikutip dari tulisan Harry Jusron, “Hutan Mangrove di Jakarta Merana” dalam artikel di Media Indonesia 21 Juni 2009.

Saya sangat sedih membaca uraian tersebut. Penyelamatan hutan, hanya satu elemen diantara begitu banyak agenda pelestarian lingkungan yang mesti diselesaikan dengan bijak, secara tepat guna dan berdaya guna. Bagaimanapun, kita hanya punya satu bumi, yang menjadi tempat hunian kita, dan akan diwariskan turun temurun hingga anak cucu bahkan cicit kita kelak. Adalah menjadi tanggung jawab kolektif kita semua untuk merawatnya dengan baik. Upaya-upaya konstruktif untuk itu tentu sudah banyak dilakukan, namun yang penting dipahami bahwa pendekatan holistik merupakan langkah ampuh untuk menyelesaikannya.

Antisipasi atas perubahan iklim seyogyanya dilakukan secara menyeluruh pada seluruh elemen kehidupan. Tak dapat dipungkiri efek “Climate Change” ini telah melanda segenap warga dunia. Dan ini telah menjadi tema global yang terus aktual untuk dapat diselesaikan segera. Bagaimana implementasinya penyelesaian secara holistik tersebut tentunya ditentukan salah satunya melalui spirit kolektif dan kecerdasan ekologis yang kita miliki dalam merumuskan langkah-langkah adaptasi dan mitigasi atas perubahan iklim.

Saya ingin mengutip uraian dari blog ini yang memberikan pemaparan konseptual tentang maksud dari Mitigasi dan Adaptasi dalam konteks perubahan iklim:
Mitigasi dalam kamus John M. Echols dan Hassan Shadily memiliki arti yaitu pengurangan. Adapun adaptation atau adaptasi artinya penyesuaian diri. Kedua istilah ini menjadi penting karena menyangkut strategi menghadapi perubahan alam. Melalui mitigasi, usaha yang dapat dilakukan adalah mengurangi sebab pemanasan global dari sumbernya. Gunanya agar laju pemanasan itu melambat, dan pada saat bersamaan dapat dilakukan persiapan diri untuk beradaptasi dengan perubahan yang ada, sehingga diharapkan akan ditemukan suatu titik temu yang menjamin kelangsungan hidup manusia.
Dalam skala kecil, mitigasi bisa berupa gerakan cinta lingkungan seperti pengelolaan sampah, bike to work, mengurangi penggunaan plastik, menggunakan AC yang non CFC, hemat energi dan lain sebagainya. Adapun beradaptasi dapat dilakukan dengan melakukan penataan lansekap lingkungan, penghijauan, menjaga daerah resapan, re-userecycling, dan lain-lain.
Beradaptasi terhadap perubahan iklim merupakan prioritas mendesak bagi Indonesia. Seluruh kementerian dalam pemerintahan dan perencanaan nasional perlu mempertimbangkan perubahan iklim dalam program-program mereka – berkenaan dengan beragam persoalan seperti pengentasan kemiskinan, pemberdayaan masyarakat, keamanan pangan, pengelolaan bencana, pengendalian penyakit, dan perencanaan tata kota. Namun ini bukan merupakan tugas pemerintah pusat belaka, tetapi harus menjadi upaya nasional yang melibatkan pemerintah daerah, masyarakat umum, dan semua organisasi nonpemerintah, serta pihak swasta.

Bagaimana bentuk partisipasi masyarakat dalam upaya adaptasi atas perubahan iklim? Dalam konteks holistik yang sangat penting adalah menggalang kesadaran bersama untuk merawat dan melestarikan alam serta lingkungan, dengan aksi-aksi kecil dan sederhana. Semua dimulai dari diri sendiri lebih dahulu. Saya berusaha untuk menerapkan “green lifestyle” mulai dari lingkungan keluarga dan tentu saja diri sendiri.

Menanam pohon dihalaman rumah, membawa tas non plastik sebagai kemasan, “membudayakan” olahraga bersepeda bahkan menggunakannya sebagai kendaraan menuju ke kantor serta menanamkan pendidikan yang baik untuk anak-anak saya tentang pentingnya memelihara lingkungan dengan menjaga kebersihan secara konsisten. Bagi saya, langkah sederhana dan kecil ini justru merupakan kontribusi besar jika diakumulasi gerakannya dari komunitas-komunitas serupa yang melakukan hal yang sama.

Upaya menggalang kesadaran kolektif bisa dilakukan melalui media sosial yang perkembangan begitu spektakuler saat ini. Blog dan media sosial menjadi sarana yang tepat karena keterikatan personal dan relasi kolegial yang terdapat didalamnya membuat pesan yang disampaikan mengenai kesadaran ekologis bisa “terkirim” secara efektif, utamanya melalui jejaring pertemanan yang dimiliki.

Kesadaran kolektif bisa dibangun dengan memberdayakan kanal-kanal sosial media yang ada. Kian banyak arsip-arsip di mesin pencari yang membicarakan soal ini akan paralel dengan peningkatan pengetahuan masyarakat untuk kesadaran pelestarian lingkungan.Pendekatannya bisa lebih “fun” dan gaul, misalnya lewat film kartun, game atau kuis interaktif yang memungkinkan pemahaman tentang efek perubahan iklim serta cara penanganannya menjadi lebih cepat dan efisien. Salah satunya seperti video/film yang dibuat oleh DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim) yang menyajikan tayangan edukatif mengenai hal tersebut. Film “Senandung Bumi” yang disajikan dibawah misalnya merupakan film DNPI ke tiga tentang edukasi perubahan iklim, bagaimana perubahan iklim itu terjadi, dampak yang ditimbulkan, dan bagaimana solusi nya. Film ini dikemas sedemikian rupa agar mendorong khususnya para remaja untuk lebih peduli, pro aktif, dan langsung melakukan tindakan yang dapat menolong bumi dengan cinta Lihat videonya:

Usaha “membumikan” langkah-langkah pelestarian lingkungan lewat sosial media, menurut saya, sangat efektif agar pesan-pesan kesadaran ekologis bisa tersampaikan secara lugas dan aplikatif. Perubahan paradigma menjadi hal yang niscaya antara lain dengan bagaimana menentukan secara tepat “segmentasi” target program sosialisasi lewat sosial media ini, untuk siapa, bagaimana caranya dan bentuk kampanye apa yang paling tepat agar semua orang bisa membicarakannya.

Kegiatan penanaman pohon oleh perwakilan komunitas blogger seluruh Indonesia yang dilakukan di Botanical Garden Kota Jababeka Cikarang dalam momen Amprokan Blogger 2010 silam sangat tepat. Gerakan penghijauan ini membangkitkan kesadaran cinta pohon dan lingkungan. Menarik disimak kata sambutan Pak Eka Budianta dalam momen penanaman pohon tersebut.

“Kasihan Indonesia yang memiliki luas area sangat luas dan hanya punya 5 kebun raya, untuk itulah ambisi untuk menjadikan Botanical Garden Kota Jababeka sebagai Kebun Raya tambahan di Indonesia sebagai wujud kepedulian dan aksi nyata untuk melestarikan lingkungan dan kehijauan,” ucap sang “bapak pohon Indonesia” ini bersemangat.

Pak Eka menyampaikan materi dihadapan peserta Amprokan Blogger (foto oleh Om Jay)

“Kita mesti berterimakasih pada pohon.  Tidak hanya karena kita sudah memanfaatkan potensi pohon untuk kemaslahatan kita, umat manusia, tetapi lebih dari itu. Pengetahuan dan kearifan hidup kita bisa ambil mulai dari akar, ranting, dahan, daun  dan buahnya. Daun yang gugur adalah refleksi kehidupan manusia. Ia melayang jatuh dari pohon seusai menunaikan tugas mulianya menghasilkan oksigen. Sama halnya seperti kita, manusia, yang kelak akan meninggalkan dunia fana ini. Tak ada yang abadi, namun kita bisa memaknai kehidupan kita didunia ini dengan melakukan hal-hal terbaik bagi diri kita dan masyarakat,” tutur Pak Eka lantang dan sejenak membuat hadirin terpaku diam.

Pihak Botanical Garden Jababeka ketika itu menyiapkan 15 batang pohon untuk ditanam disana dengan perwakilan 15 komunitas blogger seluruh Indonesia. Pohon yang sudah disiapkan antara lain: pohon bintaro ( Cerbera odollam), ketapang (Terminalia catappa), hujan emas (Tabebuea chrysanta), dadap merah (Erythrina variegate), Ki Acret (Sapatodea campanulata), Flamboyan (Delonix regia), daun kupu-kupu (Bauhinia blakeana) dan mahoni (Switenia mahagony).

Pola Pembangunan berkelanjutan berbasis lingkungan perlu dikembangkan agar tidak melulu melakukan ekploitasi sumber daya alam secara “brutal” dengan tidak memperhitungkan dampak ekologis yang mungkin terjadi. Olehnya itu perencanaan yang matang, melibatkan semua elemen terkait sangat penting dan mempertimbangkan analisa dampak lingkungan yang mungkin terjadi. Semua mesti terlibat, secara holistik, untuk masa depan bumi yang hanya satu ini menjadi lebih baik.

Hal yang perlu diwaspadai adalah perubahan iklim mengancam berbagai upaya negara kita dalam memerangi kemiskinan. Dampaknya sangat berpengaruh pada berbagai resiko dan kerentanan yang dihadapi oleh rakyat miskin serta menambah beban persoalan yang sudah diluar kemampuan mereka untuk menghadapinya. Bisa dikatakan, perubahan iklim menghambat upaya orang miskin untuk membangun kehidupan lebih baik bagi diri sendiri dan bagi keluarga mereka.

Penurunan daya serap karbon akibat kerusakan hutan global di dunia dan di Indonesia berdampak pada semakin tingginya efek rumah kaca. Badan Dunia yang memonitor isu ini Intergovernmental Panel on Climate Change (IPPC) telah memperkirakan bahwa antara tahun 1750 dan 2005 konsentrasi karbon dioksida di atmosfer meningkat dari sekitar 280 ppm (parts per million) menjadi 379 ppm per tahun dan sejak itu terus meningkat dengan kecepatan 1,9 ppm per tahun. Akibatnya tahun 2100 nanti suhu global dapat naik antara 1,8 hingga 2,9 derajat (sumber: Laporan Perubahan Iklim UNDP, 2007)

Kenaikan suhu ini memberikan dampak yang parah bagi negara kita, khususnya bagi masyarakat miskin. Interaksi dengan pengaruh lainnya makin memperburuk keadaan. Fenomena Elnino Southern Oscillation (perubahan arus laut di Samudera Pasifik yang menyebabkan air laut menjadi luarbiasa hangat) dan anomali pergerakan siklon tropis di Samudera Hindia serta Pasifik menyebabkan terjadinya beragam bencana seperti angin kencang dan curah hujan yang tinggi. Malapetaka terjadi dimana-mana mulai dari banjir, kemarau panjang, angin kencang dan badai pesisir yang dashyat.

Kearifan kuno para petani kita dalam memperkirakan urut-urutan musim dikacaukan oleh Perubahan Iklim. Pola perubahan musim berganti, curah hujan tak menentu dan kemarau yang tak bisa diprediksi membuat jadwal tanam dan panen mesti ditinjau ulang. Ujung-ujungnya nafkah yang diperoleh oleh petani dan nelayan kita turun drastis. Yang kian menyedihkan, mereka memiliki sumber daya terbatas untuk menanggung bencana sehingga bencana apapun yang menimpa akan membuat mereka kehilangan harta benda yang seadanya. Di masa sulit, mereka menjual aset yang mereka miliki (tanah, sepeda, peralatan pertanian, perahu) untuk melanjutkan kehidupan. Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development Global-MDG) terancam pencapaiannya oleh perubahan iklim.

Pada acara “High Level Policy Dialogue On Technology Transfer for Smaller Farmer”, yang dilaksanakan Rabu (13/2/2013),  Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian (Balitbang Kementan) Haryono menyebutkan: Sekitar 60% negara produsen pangan terimbas perubahan iklim dan pemanasan global. Tidak terkecuali Indonesia yang mayoritas masyarakatnya menggantungkan hidupnya pada sektor agribisnis. “Para ilmuwan di seluruh dunia sepakat, perubahan iklim akan memengaruhi sektor pertanian,” ujarnya. Beliau kemudian menambahkan:

Bank Dunia memprediksi, sepanjang tahun ini harga pangan akan turun 3,2%. Hal itu dipicu penurunan tajam pembelian minyak nabati. Namun, realitasnya, cuaca ekstrim-kekeringan yang melanda Amerika Serikat (AS) sementara musim dingin di China menyebabkan peningkatan harga gandum dan jagung secara mendadak.

Hal sama juga dialami komoditi kedelai. Terjadinya gagal panen akibat kekeringan di AS memicu kenaikan harga kedelai di pasar internasional. Harga kedelai pada permintaan Maret naik 1,6% menjadi US$ 14,36 per gantang di CBOT. Posisi tersebut merupakan level tertinggi sejak 12 Desember 2012. Melonjaknya harga pangan itu tentunya menjadi masalah besar bagi negara yang sumber bahan pangannya berasal dari impor.

Indonesia, sambung Haryono, terus menyiapkan antisipasi dini guna meminimalisir dampak perubahan iklim. Diakui, pertanian merupakan sektor yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Tanpa ditindaklanjuti dengan program adaptasi,tentunya hal itu memiliki implikasi besar terhadap ketahanan pangan nasional.

Balitbang, sambung Haryono, terus menginiasasikan adaptasi melalui kebijakan teknologi dengan mendorong penciptaan varietas padi. Pasalnya, padi merupakan komoditas pangan paling esensial untuk mayoritas masyarakat Indonesia.

Balitbang Kementan, kata Haryono, telah menciptakan benih varietas unggul yang tahan kekeringan, hama dan hidup dalam rendaman air dalam jangka waktu tertentu.Bahkan, baru baru ini pihaknya juga berhasil mengembangkan benih “Perubahan iklim membuat suhu air naik, selanjutnya hal itu membuat permukaan air laut naik dan membawa kandungan garam ke areal persawahan padi,” paparnya

Perubahan iklim juga akan membawa bencana yang terlaksana secara perlahan-lahan, seperti kenaikan muka air laut dan intrusi air laut ke delta-delta sungai dan merusak ekosistem pesisir serta meminimalkan mata pencaharian masyarakat. Dampaknya bisa ditebak. Akan lebih banyak penderitaan, kemiskinan, penurunan kualitas kesehatan, serta kemunduran dalam pertumbuhan ekonomi, pembangunan hingga kerusakan lingkungan hidup.

Langkah-langkah adaptasi dan mitigasi perlu digagas misalnya:prakarsa di tingkat publik dan individual mencakup penguatan sumber-sumber penghidupan dan mengurangi kerentanannya. Misalnya membangun rumah panggung anti banjir, tanggul penahan longsor yang kokoh hingga perencanaan pembangunan yang terencana hingga mampu secara tangguh menghadapi perubahan iklim. Untuk bidang pertanian, inisiatif membuat varietas tanaman yang mampu secara alamiah beradaptasi pada deviasi cuaca mutlak diperlukan. Penggunaan pupuk organik juga harus diaplikasikan untuk mempertahankan unsur kesuburan tanah. Termasuk kerjasama dengan lembaga terkait dengan teknologi canggih untuk memperkirakan jadwal tanam dan panen dalam suasana iklim yang kerap berubah akan sangat membantu.

Cara terbaik untuk beradaptasi pada perubahan iklim adalah beralih kepada bentuk-bentuk pembangunan berkelanjutan. Belajar untuk menghargai alam dan menjaga harmoninya dengan baik dan konsisten. Rencana aksi adaptasi dan mitigasi mengantisipasi perubahan iklim secara jangka panjang, menengah dan pendek hendaknya disusun secara sistematis dan komprehensif. Sejauh mana keseriusan kita menyelamatkan lingkungan sedemikian pula kita bergantung pada lingkungan untuk menyelamatkan kita.

Disinilah, perspektif pendekatan holistik untuk adaptasi dan mitigasi dipertemukan. Menanami kembali hutan-hutan kita tak hanya meningkatkan penyerapan gas-gas rumah kaca, namun lebih dari itu melindungi rakyat dari bencana banjir dan longsor. Menurunkan konsumsi bahan bakar di perkotaan dengan membudayakan bersepeda ke kantor tak saja mengurangi emisi karbondioksida namun juga perbaikan kualitas kesehatan dengan udara yang sehat dan kondusif khususnya bagi anak-anak dan lansia. Kearifan tradisional yang senantiasa mengedepankan harmoni bersama alam selayaknya menjadi rujukan untuk lebih mencintai lingkungan kita demi masa depan serta kesejahteraan kita lebih baik.

Saya mengenang ucapan orangtua saya yang diungkapkan seraya mengelus daun Anthurium kesayangannya. “Merawat tanaman itu seperti merawat cinta. Diperlukan ketekunan dan ketelatenan setiap hari untuk melakukannya dan ini juga yang ayah dan ibumu lakukan untuk selalu merayakan kasih sayang diantara kami, juga buat kalian, setiap hari” kata ayah (dikutip dari posting “Cinta yang Menumbuhkan, Cinta yang memberdayakan”). Makna filosofis yang dalam tersirat disana. Merawat bumi kita yang kian renta, memang tidaklah mudah, namun dengan usaha, ketekunan dan konsistensi yang tinggi kita semua bisa melakukannya tak hanya sebagai bagian tanggung jawab kita sebagai penghuninya namun lebih dari itu sebagai manifestasi cinta serta rasa syukur kita atas karunia dari Allah SWT Sang Maha Pencipta.

Cikarang, 27 Februari 2013

Unhasian.com adalah platform media komunitas. Setiap penulis bertanggungjawab atas tulisannya masing-masing.

Jangan Lewatkan: