Resensi Buku : Jokowi & Rahasia Yang Menyertainya

Koleksi Ipadku 316Judul Buku : The Jokowi Secrets (Bagaimana Kepemimpinan Sederhana Menyelesaikan Masalah-Masalah Tak Sederhana)

Penulis : Agus Santosa

Penerbit : Gradien Mediatama, 2014

Editor : Ang Tek Khun

Jumlah Halaman: 246

ISBN : 978-602-208-127-2

[B]uku yang dipajang di rak buku Gramedia Mega Mall Bekasi spontan menarik minat saya. Selain covernya yang atraktif dengan kartun wajah Jokowi sedang tersenyum lebar, judulnya pun segera membangkitkan rasa ingin tahu untuk menyelami lebih dalam apa sesungguhnya rahasia kepemimpinan sosok fenomenal yang kini menjadi salah satu Calon Presiden Indonesia dan berpasangan dengan H.M.Jusuf Kalla.

Sang penulis buku, Agus Santosa mengawali pengantar buku ini dengan apik melalui judul “Menjadi Sebutir Garam”.

Agus mengulas bagaimana filosofi garam, kerendahan hati dan kepemimpinan yang melayani. Pada pengantar bukunya ia mengungkapkan:

Takdir sebutir garam di pasir itu tersembunyi. Tidak seperti terang yang memendarkan cahaya. Tidak seperti suar yang menavigasi kapal di laut untuk merapat ke dermaga. Garam itu tersembunyi dan memendam kerendahan hati. Garam memberikan rasa yang meresap pada makanan,tanpa pernah menjadi makanan itu sendiri. Garam merasuk ke dalam makanan sebagai penyedap. Jika anda menjadi”sebutir garam” anda harus merasuki kehidupan orang lain dengan sikap hati dan pemikiran Anda, memengaruhi orang lain dengan perilaku anda. Itulah peran sebutir garam, rendah hati dan tersamar.

Kepemimpinan yang melayani adalah menjadi”garam”merasuk ke semua ranah kehidupan konstituen atau merapat pada rakyat, yang dalam istilah Jokowi, pemimpin harus bersikap horizontal

Saya mencoba memahami filosofi yang dipaparkan oleh Agus dengan membaca bab demi bab buku memikat ini. Terdapat 7 bab dalam buku “The Jokowi Secrets”yaitu : “The Difference Maker”, “Anti Fragile”,”Tak Melintas Jalan Pintas”, “Bersih-Bersih Rasuah”, “Blusukan Sang Naga”, “Revolusi diatas Meja Makan” dan “Mulut Bijak Hati Teduh”.  Di bab pertama Agus mengungkapkan ciri pembeda Jokowi yang menonjol dan menjadi daya tariknya. Dari sisi postur tubuh dan tampilan fisik, sosok Jokowi memang tak banyak berbeda dengan sosok orang kebanyakan. Seraya mengutip pernyataan guru motivasi John.C.Maxwell “Sikap adalah pembuat perbedaan! Sikap bukan segalanya, tetapi satu hal yang dapat membuat perbedaan dalam hidup anda!”, Agus kemudian mengulas “Sikap” Jokowi yang menjadi sosok yang terlihat unik dan berbeda.

Jokowi seringkali dianggap sebagai antitesa dari karut marut kepemimpinan nasional yang terlalu sering dilanda kefasikan. Jokowi juga dianggap membentangkan lanskap baru, pemimpin lokal yang merambah ke tingkat nasional karena sikapnya yang autentik. Namun begitu, ia kerapkali mendapat respon negatif seperti : mesin pencipta citra, piawai bermanuver dam membuat sensasi. Jokowi heran, bingung dan terkejut menerima sorotan yang melebihi batas estimasi itu, sebelum akhirnya menyadari : “Kemudian, sadarlah saya, bahwa saya telah berada di suatu lintasan dimana tidak ada pelari lain yang berlari dengan gaya serupa dengan saya. Oleh karenanya, saya dianggap aneh. Dianggap beda dengan yang lain. Dan langkah-langkah saya dianggap berlatar belakang skenario maha dashyat” (dikutip dari buku “Jokowi, Memimpin Kota, Menyentuh Jakarta”, Alberthiene Endah, Metagraf, 2012).

Penyataan Jokowi ini, ungkap Agus, menginspirasi kita bahwa setiap orang memang (bisa dan harus) beda. Jika anda memilih untuk menjadi autentik, asal dari diri sendiri, dengan sendirinya anda bersikap lebih jujur pada diri sendiri, dan itu akan membuat anda berbeda. Tidak seperti serigala berbulu domba.Tidak perlu mengubah bentuk atau wajah. Tidak usah menyamarkan jati diri anda; bersikap apa adanya, bloko (blak-blakan) tanpa diplomasi yang sarat siasat tertentu. Tantangan pertama menjadi autentik adalah autensitas itu sendiri, yakni menjadi diri sendiri. Jokowi sejauh ini adalah pribadi autentik yang bersifat terbuka, transparan tanpa siasat. Ia tidak sibuk (meski sering dituduh) mencitrakan diri. Ia tampil “apa adanya”. Jokowi menjelma sebagai “Difference Maker”

jokowi-pkl2

Paradigma Jokowi dalam “melihat” masalah, tambah Agus, sangatlah menentukan sikapnya mengatasi masalah. Cara berfikir, persepsi maupun asumsi Jokowi tentang realitas masalah PKL (Pedagang Kaki Lima) adalah sikap mentalnya terhadap keputusan dan tindakan menata PKL. Sikap inilah yang membedakan Jokowi dan pemimpin kota lainnya yang lebih memilih bersikap aman, bertindak setengah hati, atau sebaliknya justru bersikap otoriter, sepihak dan meremehkan masalah. Pada 2005, ada sekitar 5000 PKL yang menyebar dan menyesaki sudut-sudut kota Solo. Jokowi datang menemui komunitas PKL tersebut. Ia membuka komunikasi dengan para pedagang.

Tujuannya sederhana, membangun trust pedagang kepada pemerintah dan membuka kesadaran mereka. Ia berbicara, makan siang bersama dan mengakrabi persoalan para pedagang, sampai berhasil (dalam terminologi Jokowi) membangun “jembatan hati” dengan mereka. Tak heran Jokowi masuk dalam seratus tokoh dunia dalam daftar “The Leading Global Thinkers of 2013” versi Foreign Policy, majalah yang diterbitkan Washington Post company. Pada majalah yang berbasis di Amerika Serikat itu menulis Jokowi sebagai pemimpin diluar kelaziman politik di Indonesia. Majalah tersebut menulis “Unlike many of his moneyed peers, who hail from powerful political dynasties and have little contact with the common man. Joko clings to his humble beginnings”

207029_620

Di Bab berikutnya bertajuk “Anti Fragile” yang bermakna suatu kekuatan, ketangguhan melawan rapuh termasuk juga daya tangkal, imunitas, kebal diri melawan hidup yang sulit dan sarat dengan ketidakpastian, Agus mengangkat pribadi Jokowi yang relevan dengan sikap ini. Lahir dari orang tua yang serba kekurangan bahkan sempat kena gusur rumahnya, Jokowi tumbuh menjadi sosok yang tangguh menghadapi kerasnya hidup. Dalam buku yang ditulis Alberthiene Endah “Jokowi, Memimpin Kota, Menyentuh Jakarta” seperti dikutip di buku ini, Jokowi menyatakan,”Pemikiran saya tentang masa depan simpel saja: Saya ingin mengembangkan hidup di Solo melalui pekerjaan di ranah kayu dan memperbaiki wajah hidup keluarga. Sesuatu yang memang menjadi cita-cita saya, sejak menyaksikan keprihatinan demi keprihatinan di masa kecil. Bagi saya, keterbatasan hidup merupakan sinyal untuk bergerak lebih baik. Bukan pemberhentian nasib yang tidak menjanjikan perubahan”.

Di Bab “Tak Melintas Jalan Pintas”, Agus membukanya dengan mengutip salah satu filosofi hidup Jokowi : “Jangan pernah memotong apapun yang dapat dibuka ikatannya dengan sedikit bertekun Anda bisa membuka kehidupan baru. Di bab ini Agus menulis perjuangan Jokowi menata kota Solo saat menjabat sebagai walikota dengan berbasis pada kebudayaan. Ia sumpek melihat kondisi sejumlah situs heritage yang rusak oleh pembangunan gedung-gedung moderen tanpa mengindahkan budaya. Jokowi tampaknya tak gentar dinilai sebagai walikota Jadul. Ia menegaskan,”Bagi saya, selalu dan selalu saya katakan yang terpenting adalah memahami nyawa kota dan mengerti apa yang dibutuhkan penduduk. Menghirup aroma asli lapangan dan dengan jujur menyimpulkan apa yang harus dilakukan sesungguhnya bagi kota. Seorang pemimpin tak harus malu dan takut dikatakan terbelakang jika ia mengerem pembangunan mal dan gedung-gedung moderen, lalu melakukan banyak hal bagi budaya. Bila budaya tersebut adalah nyawa dan poros kehidupan penduduknya, kenapa harus diperkenalkan pada kehidupan baru yang belum tentu cocok bagi mereka?” (dikutip dari Buku “Jokowi, Spirit Bantaran Kali Anyar”, Domu.D.Ambarita,dkk, 2013) . Jokowi hadir dengan pemikiran kritis tetapi tidak menolak substansi yang lama atas nama kesadaran yang baru. Pilihan Jokowi ini memang anomali. Ia memang memilih untuk meramu yang baru dalam tubuh yang lama. Ini bukan pilihan mudah dan “mengawinkan” budaya Solo dan modernitas layak diapresiasi.

Pada bab empat “Bersih-Bersih Rasuah”, Agus mengungkap kebencian sosok Jokowi pada korupsi. Kebencian itu tak terlepas dari pembelajaran hidup Jokowi di masa lalu sebagai rakyat kecil yang hidup sederhana. Dengan jujur ia mengatakan,”Dari perjuangan orang tua, saya belajar ketekunan. Kesetiaan pada janji dan kerja keras. Dan kepercayaan bahwa bila segala sesuatu dijalankan dengan jujur, tulus, dan bersih, Ridha Allah niscaya ada. Keteguhan wong cilik untuk berlaku, bertahan, dan bekerja dalam kejujuran sikap adalah teladan yang membesarkan saya sejak kecil”.

“Blusukan Sang Naga” adalah judul di Bab 5 yang menyoroti “tradisi” fenomenal Jokowi yaitu “Blusukan”. Agus membuka bab ini dengan mengutip pepatah Tiongkok “Naga yang kuat tidak akan mampu mengalahkan ular yang bersembunyi dalam tanah”. Meski digdaya dan bisa terbang, seekor naga harus arif dan bijaksana, tahu diri. Naga yang kuat sekalipun, tak bisa mengalahkan ular yang bersembunyi didalam tanah yang melambangkan rakyat kecil atau kawula alit. Sang Naga harus terus membumi, turun ke bawah menemui ular-ular yang bersembunyi di dalam tanah. Sang Naga harus mau mblusuk.

Secara harfiah Blusukan dibentuk dari kata blusuk atau mblusuk yang artinya mbelu ing atau masuk ke. Kata blusukan adalah khas Jawa, diakrabi dalam kehidupan orang-orang di pedesaan, perkampungan dan pedalaman yang jauh dari keramaian. Strategi blusukan pertama kali dilakukan Jokowi ketika bersama FX.Hadi Rudyatmo kampanye Pilkada Solo 2005. Mereka kampanye dengan cara menyambangi rumah-rumah penduduk secara langsung, door to door. Jokowi melebur dengan kehidupan bermasyarakat, berdialog langsung, tanpa basa-basi. Metode blusukan ini diteruskan Jokowi saat menjadi Gubernur DKI Jakarta.Ia tak segan-segan mblusuk ke dalam gorong-gorong dan memeriksa selokan yang mampet. “Tradisi” Blusukan yang dilakukan Jokowi ini dilembari satu kesadaran untuk menyatu dengan realitas kampung, yakni kumpul bersama, yang mencerminkan keakraban orang-orang kampung yang karib berbincang, ngobrol di teras rumah yang membuat mereka leluasa dan cair dalam kebersamaan.”Dari blusukan, itu lahirlah KJS (Kartu Jakarta Sehat) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP) serta penanganan masalah di waduk pluit dan rehabilitasi Rusun Marunda bisa tertangani,”kata Jokowi. Berkat blusukan Jokowi, ada 4 juta anak sekolah menerima KJP dan 3 juta penduduk dibekali KJS agar bisa berobat langsung ke rumah sakit. Blusukan menjadi jalan sederhana yang membantu untuk mendefinisikan realitas sehingga tak salah memetakan masalah, lebih bijak mengambil keputusan dan siap dalam tindakan.

Di Bab 6 yang berjudul “Revolusi di Meja Makan”, Agus mengungkapkan bagaimana makan bersama menjadi bagian dari strategi diplomasi dan negosiasi Jokowi dalam mencapai tujuan. Ketika bernegosiasi dengan PKL di Solo untuk relokasi ke tempat baru, Jokowi menggunakan strategi ini dengan melakukan pendekatan yang bersahabat sembari menjelaskan latar belakang pemindahan lokasi mereka. Tak ada upaya represif yang berpotensi menghasilkan konflik dalam proses tersebut yang akhirnya berjalan damai dan mulus. Lebih dari lima puluh kali Jokowi mengundang makan PKL sekaligus membuka dialog secara terbuka dengan semangat win-win solution.

Pada bab terakhir “Mulut Bijak, Hati Teduh”, Agus membuka dengan ulasan ketika juru bicara Partai Demokrat, Ruhut Sitompul menantang Gubernur Joko Widodo untuk berdebat dihadapan publik. Kepada jurnalis di kompleks Parlemen Senayan, Ruhut mengatakan “Kalian yang angkat Jokowi, padahal dia tidak pernah debat. Yang kayak begitu mestinya diperhatikan dengan detail” (Tempo, 26 November 2013). Jokowi menjawab,” kalau diajaknya cemplung kali, cemplung pasar, terus terjun ke lumpur, ayoo..Saya itu dari dulu tidak suka, tidak bisa debat, sukanya kerja blusukan“(Tempo, 26 November 2013).

jkwApakah dengan diam menjadi pertanda Jokowi enggan berpolitik?. Jokowi menampik debat, apakah itu berarti ia menampik politik? Jokowi sedang menapaki jalan politik, berada didalam labirin politik, tentu saja ia tidak boleh menampik politik.Jokowi memahami politik sebagai cara bernegara untuk mencapai kesejahteraan masyarakat–ini adalah cara mutlak dan tak dapat diganggu gugat. Dan berdebat di mata Jokowi adalah satu dari sekian cara berpolitik, demikian pula bekerja untuk rakyat adalah cara berpolitik. Jokowi memilih bekerja daripada berdebat. Jokowi menunjukkan bahwa anda harus memiliki ruang dalam hati dan fikiran untuk menenangkan diri. Perbedaan itu nyata adanya dan kesadaran untuk memahami perbedaan demi perbedaan inilah yang bisa mencegah untuk terjerumus dalam konflik, pertengkaran, atau perseteruan yang sia-sia.

Agus Santosa menulis buku ini dengan bahasa yang sederhana dan mudah dicerna. Pada bagian akhir setiap bab, ia menuliskan kutipan ringkasan singkat rahasia kepemimpinan Jokowi yang fenomenal dan layak menjadi rujukan serta inspirasi bagi pembacanya. Buat saya buku ini telah membentangkan sebuah lanskap baru di cakrawala pemikiran saya tak hanya pada sosok sang calon presiden Jokowi namun juga bagaimana rahasia kepemimpinan yang mumpuni. Sebuah buku yang layak baca terutama bagi anda yang ingin belajar banyak tentang manajemen, tentang bagaimana menyelesaikan masalah-masalah tak sederhana dengan kepemimpinan yang sederhana.

Saya ingin mengutip tulisan memikat di bagian belakang buku ini: “Jika dengan sepenuh hati Anda membantu orang-orang meraih impian mereka, niscaya anda akan mendapatkan apa yang anda impikan. Jadi milikilah mulut bijak dan hati teduh, artinya anda tidak memilih hancur bersama orang-orang yang memusuhi anda…tidak menampik untuk menjadi “sebutir garam” yang merahmati dunia disekitar anda”.

Unhasian.com adalah platform media komunitas. Setiap penulis bertanggungjawab atas tulisannya masing-masing.

Jangan Lewatkan: