Bangunkan Aku, Sebuah Refleksi Perjalanan

Bagiku Unhas bukanlah nama untuk sebuah Universalitas pengetahuan, TAPI sebuah romantisme kehidupan

Suatu ketika Alexis Garrel berkata, “derajat keterpisahan manusia dengan dirinya sebanding dengan perhatiannya yang tinggi terhadap dunia di luar dirinya.” Aku dan Unhas adalah dua sisi yang saling terpisah, namun bersenyawa dalam ‘jubah’ mahasiswa.

Tujuh tahun bukanlah waktu yang singkat untuk sebuah episode bermahasiswa. Bukan pula waktu yang sebentar untuk suatu peperangan antara prinsip dan cita-cita. Tapi perjalanan kesetiaan, enggan untuk berpaling.

Bukan maksud hati untuk melewatkan begitu saja, kisah yang pernah hadir atau pun dihadirkan dalam setiap kesempatan yang begitu bermakna di Universitas ini. Padanya setiap orang bergerak dalam nafas spirit dan kepentingan, meski untuk itu kerap kali mengalami gelombang dan kebekuan pasang surut.

Aku di sini seolah seperti hari kemarin, saat menginjakkan kaki di Tamalanrea, tempat bercokolnya Kampus Unhas. Bangun dalam kepungan larut malam atau pagi yang buta, dengan meraih sepasang pakaian opspek, menakar berbagai aksesori sebagai simbol Maba. Berupaya dengan segera bergegas pada ruang dan waktu milik senior, kala pintu tantangan mulai dibunyikan.

Pada awalnya apa yang terpendam dalam benak diri adalah mau belajar, mengembangkan diri, coba menyelami dunia kampus, tanpa tahu apa sasaran yang hendak dicapainya. Belum lagi penyakit-penyakit psikis yang kerap hadir tanpa diundang.

Keniscayaan hari esok, ketakutan akan masa depan kian menjadi bagian dari kehidupan bermahasiswa. Tinggal di kost dengan hidup seadanya meski tak perduli akan kebersihan kamarnya. Dengan kata lain kamar seolah mencerminkan gaya hidup.

Di dunia, konon manusia hidup dalam kenyataan sekaligus dalam impian. Dalam kenyataan yang ada itu, juga termuat harapan, ketakutan, dan rasa bersalah. Setetes pengamatan dilahan kehidupan masih begitu membekas, kala memberikan sedikit pengaruh dan perubahan bagi tumbuhnya motivasi dilahan rohani.

Dikala sendu dan duka, tak sedikit yang memberi perhatian. Menitipkan sedikit senyuman ala kadarnya. Atau pun menghembuskan nada penyemangat, sekadar menahan rasa sakit. Irama melepaskan kekangan jiwa, minimal untuk menunda kekalahan. Kedekatan rasa telah begitu menyatu hingga direlung kesadaran muncul sebentuk rasa soliditas yang menggelora, hingga ungkapan,

Diantara kita tak ada lagi rahasia

Dari jadwal diskusi, kuliah, ngopi,

Hingga jadwal makan dan praktek kau hafal

Bahkan bangun tidurku pun Engkau tahu,

Unhas telah menghilangkan rahasia itu

Kurasa kedekatan kita Justru menjauhkan kita

Dalam bingkai ruang dan waktu

Hidup di kampus dengan sejumlah plus-minus, ketersediaan dan keterbatasan dalam bingkai sarana, memaksa setiap orang untuk berbuat dalam batas-batas logika dan interpretasi. Walau terkadang ada juga yang coba melampaui batas-batas kesadaran. Walau prinsip-prinsip kealaman begitu mutlak mengalahkan prinsip kemanusiaan sebagai pengatur alam.

Pada hakekatnya kita selalu merindukan suasana yang dulu tercipta untuk diulang kembali. Namun dalam perjalanannya dihadapkan pada dua kemungkinan. Terjerumus dalam kehancuran, atau tetap berada dalam belenggu ketidakpastian. Keduanya merupakan sumber kerisauan manusia akan dirinya.

Unhas adalah saksi hidup, meski tak punya nyawa. Dan kita semua di sini menjadi kisah hidup yang mengabadi. Kepergian dan kedatangan selalu menyertai lembaran  di Unhas. Kekhilafan dan kealfaan, kecewa dan bahagia, susah dan senang, selalu mengingatkan dan menabrak kesadaran manusia pada perjalanan hidupnya. Tidak terkecuali antara aku dan Unhas. Satu pesan abadi yang ingin kusampaikan pada Unhas, ‘Bangunkan Aku esok hari”.

Unhasian.com adalah platform media komunitas. Setiap penulis bertanggungjawab atas tulisannya masing-masing.

Jangan Lewatkan: